Kamis, 05 November 2015
film indie anak jalanan batam
Bermodal duit hasil ngamen, Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Kepri memulai produksi film independen alias indie pertamanya: Art of Road.

Ruang Redaksi Batam Pos, Graha Pena Batam, Batam Centre, petang kemarin (4/2) sedang sibuk-sibuknya. Tiga lelaki tiba-tiba muncul dari balik pintu, di seberang lift, di lantai II. Yang satu rambutnya gondrong, pakai jaket coklat, celana jins belel. Dia Ridwan, biasa dipanggil Iwan. Satu lagi kelihatan lebih muda, pakai jaket merah, kaos oblong, tas gendong. Dia Andreas.
”Nah, ini Qinoy, nama aslinya Riki Rikarno,” kata Iwan memperkenalkan temannya yang petang itu kelihatan agak rapi dengan kemeja bergaris hijau-hitam dan celana katun, juga warna hitam.
Qinoy adalah sutradara Art of Road, film indie yang sedang mereka garap. Lelaki 27 tahun ini, pernah belajar perfilman. Dia juga yang menularkan ilmu mengambil gambar dengan kamera sederhana, mengatur pencahayaan dan sebagainya, kepada sekumpulan penyanyi jalanan.
Suatu hari, di akhir tahun lalu, Qinoy mengajak komunitas ini membuat film indie. Namanya film independen, tentu saja pakai modal sendiri. Kata Iwan, mereka urunan. Ada yang Rp 35 ribu, ada juga yang Rp 50 ribu. “Yang kami sisihkan itu uang hasil ngamen,” kata lelaki 33 tahun itu sambil mengusap rambutnya.
Bermodal kamera DSLR Canon 550D yang dipinjamkan Taufiqurahman, seniman kompang, mixer untuk mengatur suara dan laptop untuk proses editing, mereka pun membuat naskah dan langsung memulai produksi perdana. Untuk mendukung pengambilan gambar, Iwan dan kawan-kawan menyiapkan mikrofon, tiang bendera dari bambu, beberapa batang kayu balok dan aluminium foil.
Mikrofon diikatkan di bambu panjang supaya dari kejauhan bisa menjangkau suara dalam adegan syuting (boomer). Sementara, balok-balok kayu mereka jadikan sebagai penopang lampu neon batangan yang bagian atasnya di tutup aluminium foil.
Syuting perdana dimulai awal Januari lalu. Pemainnya, dari kalangan mereka sendiri. Lokasi syuting mengambil latar belakang kawasan pertokoan Batuaji, tempat wisata Jembatang Barelang dan kesibukan di kawasan Simpang Jam.
Karena kameranya cuma satu, setiap adegan harus diulang beberapa kali untuk mendapatkan sudut pengambilan gambar yang berbeda-beda.
“Alhamdulillah dengan peralatan seadanya syuting bisa berjalan,” kata Qinoy diikuti anggukan kepala dari Iwan.
Film Art of Road mengisahkan tentang kehidupan pengamen jalanan di Batam. Mereka menghibur dengan suara dan alat musik demi menafkahi diri sendiri dan keluarga. Hingga suatu ketika, terjadi konflik antara pengamen jalanan yang mengusung alat modern dengan pengamen yang mempertahankan unsur budaya sendiri dalam tiap penampilannya.
“Ada yang memasukkan unsur etnis atau budaya sendiri saat mengamen, ada juga yang tidak peduli sama sekali terhadap kelestarian budaya sendiri,” kata Qinoy.
Untuk mengentalkan unsur seni dalam film ini, komunitas ini menyisipkan unsur budaya lokal, macam tari jogi, makyong hingga kesenian kompang dalam film ini. “Pesan yang disampaikan dalam film, yaitu menjaga dan menunjung kebudayaan sendiri dalam berbagai pentas seni, entah itu mengamen maupun lainnya,” ungkap Qinoy.
Meski naskahnya sudah rampung dan produski sudah jalan lebih 30 persen, namun pembuatan film ini harus terbentur modal. Menurut Iwan, untuk sekali produksi, setidaknya mereka membutuhkan Rp 200 ribu sampai Rp 400 ribu untuk sewa angkutan umum dan konsumsi.
“Kadang kami syuting seharian dan harus mengganti uang setoran angkutan umum itu sehari penuh,” ungkapnya.
Iwan, Qinoy, dan Andreas berharap, film tersebut bisa rampung di tengah keterbatasan pendanaan. Komunitas ini ingin Art of Road bisa diputar di berbagai wilayah di Batam dalam konsep layar tancap supaya bisa dinikmati banyak orang.
“Kami membutuhkan sponsor. Sejauh ini baru Dinas Pariwisata Kota Batam melalui Kadisnya, Yusfa Hendri dan Ketua Dewan Kesenian Batam, Hasan Aspahani memberi dukungan kepada kami,” kata Iwan.
Menurut Iwan, jika rampung, komunitas penyanyi jalan ini bakal mendokumentasikan film berdurasi 90 menit itu ke dalam bentuk VCD/DVD dan disebarkan ke seluruh Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) se-Indonesia. “Kami juga akan mengundang seniman-seniman nasional untuk tampil dalam sebuah panggung besar yang nantinya akan menjadi penutup film ini,” ujarnya. (deden rosanda)
Fotografi tidak menciptakan keabadian, fotografi hanya membalsem waktu, membebaskannya dari kebusukannya sendiri (Andre Bazin)
“BLANK KINO” BUKAN BEKAS YANG TERSISA TAPI JEJAK YANG TERKENANG
direteks oleh David Darmadi (katagori | ulasan)
Fotografi tidak menciptakan keabadian, fotografi hanya membalsem waktu, membebaskannya dari kebusukannya sendiri (Andre Bazin)
Pada 3 Mei 2011, terdapat sebuah pameran lomba foto bertema Heritage, bertempat di ruang bagian depan gedung pertunjukan Hoerijah Adam, Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Seremonial pembukaan pameran yang dihadiri oleh Wakil Wali Kota Padang Panjang, Edwin Anas menjadi sebuah kesempatan bagi panitia untuk menyampaikan keluhan mereka atas kekurangan dana, yang masih belum tercukupi hadiah (berupa uang) untuk perserta yang karya fotonya terpilih sebagai pemenang. Tidak ada yang salah, hanya sedikit miris, jika setiap pembukaan sebuah ‘acara’ yang dihadiri oleh Kepala Daerah atau mewakili dari instansi pemerintahan daerah setempat, interaksi yang disampaikan oleh panitia tidak pernah lepas dari keluhan kekurangan dana. Sehingga pencapaian seperti apa dan kenapa ‘acara’ tersebut diselenggarakan, akan terus berlalu menjadi ‘sesuatu’ yang dipertanyakan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang bagaimana pembukaan tersebut berlangsung. Karena mengingat, jarak antara saat saya memulai menulis dengan pembukaan sudah tidak update lagi. Tapi ada beberapa hal yang perlu dicatat, saat saya berjalan menyusuri satu persatu karya foto yang dipamerkan. Jika saya memposisikan ‘siapa saya’ sebagai orang awam, saya akan kesusahan untuk membaca kemudian berusaha menafsirkan hingga memahami pesan dari setiap karya foto yang disalurkan kepada saya sebagai pihak penerima. Karena tidak adanya sebuah informasi awal dalam bentuk teks, yaitu ‘judul karya’ yang dapat dibaca.
Tidak adanya judul karya di setiap karya foto yang dipamerkan, mungkin dikarenakan oleh ketidaksiapan atau kelalaian panitia saat sedang display. Jika ditelaah lebih lanjut, pada tahap-tahap tertentu akan memberikan dampak yang cukup fatal. Karena dalam sebuah bangunan struktural foto. …Totalitas informasi diperantarai dan dihadirkan oleh dua bangunan struktural berbeda, yaitu: pada teks, substansi pesan dibangun oleh kata-kata; sementara pada foto, substansi pesan dibangun oleh garis, tekstur, dan warna. [1] Selain judul, substansi teks dapat berupa headline dan artikel penjelasan.
Keduanya saling menyangga atau memperkuat, tapi harus dikaji secara terpisah, karena secara struktural substansi teks merupakan pesan linguistik yang terkadang bersifat parasit yang dimaknai untuk mengkonotasikan substansi foto. Sehingga dari situ kita bisa membaca, bagaimanakah teks mempresentasikan diri, apakah ia mampu menguraikan substansi pada foto atau hanya berusaha menyerupai diri sehingga teks hadir tanpa pengaruh apa-apa sebagai penyangga yang menompang pada substansi foto.
Dan jika di awali dari sebuah pertanyaan yang mendasar, yaitu; ‘seberapa pahamkah ? seberapa dekatkah ? seberapa tahukah ?’ si fotografer terhadap realitas (orang, situs, objek, peristiwa, aktifitas, pemandangan) yang mereka tangkap dengan medium kamera foto. Maka kita akan mendapati sebuah penjelasan, siapakah fotografer yang membekukan realitas tersebut, apakah si fotografer adalah parasit yang sebenarnya yang tidak pernah tahu, bahwasanya selama ini mereka hanya menompang di dalam realitas yang begitu mudah disalin dengan pengetahuan teknis yang mereka kuasai, apalagi pada era digital saat ‘sekarang’.
Saya tidak begitu ingat berapa jumlah foto yang dipamerkan saat itu. Setelah berpindah dari satu foto ke foto lainnya. Mata saya cukup lama tertinggal memandangi satu foto yang terus menerus membayangi pengalaman historis saya untuk segera menuliskannya.
Foto tersebut adalah sebuah salinan realitas akan keberadaan gedung bioskop Karia yang hingga saat ‘sekarang’ masih tetap memproyeksikan citraan seluloidnya dalam ruang sinema yang hanya tinggal seorang diri di kota Padang Panjang setelah bioskop Djaja berubah total menjadi gedung BPD (Bank Pembangunan Daerah).
Jika dibandingkan pengalaman historis saya yang belum genap tiga tahun, sangat belum ada apa-apanya dengan pengalaman historis masyarakat yang hidup di sekitarnya dan bahkan mereka yang menjadi saksi akan berdirinya bioskop Karia di kota Padang Panjang. Tapi representasi kenyataan seperti apa bioskop Karia yang dibingkai oleh Riki Rikarno atau akrab dipanggil Qnoy telah membawa saya berjalan menuju pada ingatan saat saya mengikuti workshop akumassa bersama teman-teman sarueh lainnya yang dibawa oleh Forum Lenteng Jakarta di awal tahun 2009. Ketika itu, bioskop Karia menjadi salah satu narasi dari sepuluh video akumassa Padang Panjang.
Mungkin saya tidak akan membahas foto ini secara teknis ––berapa ISO, kecepatan rana, bukaan diagfragma, hingga lebar lensa yang dipakai. Karena ada sesuatu yang lebih esensial dalam karya foto. Tidak hanya sibuk membahas persoalaan teknis. Dan mereka yang telah memilih untuk menghabiskan atau menyerahkan hidupnya pada fotografi, bukan berarti menyerahkan diri sepenuhnya hanya untuk mempelajari persoalan teknis. Meskipun terkadang perlu melakukan pengolahan seperti reduksi cahaya, penghalusan dan pada dasarnya foto adalah proses penangkapan cahaya saat persoalan teknis itu bekerja.
Tetapi pengolahan seperti itu tidak menyebabkan suatu transformasi [perubahan bentuk] (tidak seperti yang terjadi dalam proses pengkodean). [2] Dan bangunan struktural foto merupakan denotasi telanjang atau turunan langsung dan sederhana dari realitas. [3] Yang kiranya menjadi imaji fotografis yang harus dipahami sebagai sebuah representasi realitas, bukan ilusi yang berkembang pada imaji fiktif fotografer. Dan proses pengkodean pada imaji fotografis juga tidak hanya sekedar bongkar pasang terhadap pemakaian tanda-tanda yang terlihat.
Hubungan antara penanda dan petanda harus dimaknai secara detail dan lebih rinci. Tidak hadir begitu saja. Sangat diperlukan kedekatan emosional serta pengalaman empiris yang benar-benar cair tempat dimana realitas itu dibekukan. Karena kita akan berhadapan dengan gagasan. Gagasan bukanlah realitas yang sekiranya bisa ditinggalkan begitu saja setelah difoto, kemudian berpindah ke realitas lain. Sekalipun realitas tersebut adalah benda mati yang benar-benar mati, seperti bioskop Karia yang difoto Qnoy. Tapi benda mati juga memiliki narasi-narasi yang lahir dari interaksi sosial masyarakat yang dialasi atau diselimuti oleh mitos-mitos kebudayaan yang hidup di sekitarnya atau bahkan bersentuhan langsung.
Bagaimana dengan peristiwa-peristiwa yang berada pada situasi traumatis? Sesuatu yang tidak pernah kita tahu kapan datang, seperti bencana alam, kebakaran, kecelakaan kendaraan dan kejadian nyata yang tidak sengaja ditemui atau disebutmagic moment. Bagaimanakah seorang fotografer dalam memposisikan diri saat berada di sana?
Sebelum memposisikan diri perlu dipahami …fotografi tidak menciptakan keabadian, fotografi hanya membalsem waktu, membebaskannya dari kebusukannya sendiri. [4]Saat proses penyalinan realitas dicerabut secara mekanis (langsung) bukan secara manusiawi. [5] Dan realitas yang ada di dalam foto, bukan realitas sesungguhnya yang telah terbebas dari kematian tapi hanya akan membantu setiap orang mengenang pada masa-masa berikutnya.
Pertanyaan selanjutnya, fotografer harus segera menentukan pilihan. Apakah harus tetap mengambil kamera untuk memoto (jika sempat, cepat, tepat, dapat) kemudian seolah ingin menjadi Kevin Carter (kedua), yang akhirnya bunuh diri–dua bulan setelah menerima penghargaan Pulitzer tahun 1994 ? Atau malah terhipnotis untuk berdiam diri menyaksikannya sampai selesai tanpa berbuat apa-apa ? Atau berusaha menanggalkan image fotografer yang sudah terlanjur melekat pada dirinya, kemudian rasa manusiawi terpanggil untuk tidak melihat saja tapi ikut menyelamatkan, sehingga tidak ada lagi sebuah penyesalan begitu mendalam seperti yang dialami Kevin Carter !!
Pada era digital saat ‘sekarang’––fotografi bukan lagi milik para professional saja. Animo masyarakat meningkat seiring perusahaan kamera besar dunia berlomba-lomba menciptakan inovasi untuk menjadikan kamera bisa digunakan siapa pun dengan cara yang menyenangkan. [6] Qnoy, namanya memang belum tercatat sebagai seorang fotografer professional dalam skala lokal, nasional, atau Internasional, dalam pameran ini fotonya juga hanya terseleksi untuk dipamerkan saja, dan ia juga bukan lulusan diploma atau sarjana program studi fotografi. Tapi dalam fotonya yang diambil sekitar pukul 00.10 wib pada 28 Maret 2011, saya melihat sebuah selektifitas yang cukup terbangun terhadap apa yang difoto.
Saat saya berbincang dengan Qnoy, ia hanya melakukan empat kali pengambilan dengan satu bloking––menggunakan kamera SLR dengan sistem memory cardsebagai tempat penyimpanan data. Saya fikir Qnoy bisa memoto lebih dari empat kali pengambilan, mencoba dan terus mencoba, kemudian menyeleksinya setelah semua foto berada di dalam komputer.
Tapi saat saya melihat fotonya lebih lama lagi, posisi body kamera seperti berhadapan pada siku bagian depan––sebelah kanan gedung. Sedangkan lensa kamera seolah tampak sejajar dengan mata orang dewasa yang sedang berdiri. Saya cukup percaya Qnoy melakukan beberapa pilihan, ia memperhitungkan dimana posisi kamera harus bersiap diri untuk statis melihat realitas yang ada di depannya, sebelum ia menyalinnya.
Fotonya terbungkus dengan sederhana, pencapaian estetika tidak begitu mengandalkan olahan photoshop seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang selalu menjadikan kata ‘hobi‘ sebagai perisai terhadap apa yang difoto. Setelah itu menulis namanya dengan embel-embelan ‘fotograph’ dan siap untuk disebarkan di media on-line jejaring sosial facebook. Menunggu, berharap dikomentari dan diberi tanda like this.
Siapa saja bisa melakukannya dan tidak ada larangan. Tapi akan memunculkan kekawatiran jika ini terus berkembang, wajah-wajah generasi digital akan lahir dari proses yang saya sebut “pronstan” yaitu proses instan yang merasa puas setelah menguasai pengetahuan teknis dari segala kemudahan yang terus tersedia di setiap perkembangan teknologi.
Dalam fotonya, Qnoy hanya memperlihatkan sisi bagian depan dan bagian samping kanan gedung bioskop Karia. Perhatikan sedikit lebih lama, pada sisi bagian atas samping kanan gedung, terdapat sebidang jendela dengan tiga daun jendela, yang bagian tengahnya––jendelanya sedikit terbuka. Pada bagian dalam di balik jendela tersebut, ada sebuah ruangan yang menjadi jantung gedung bioskop ini.
Ruangan itu adalah ruangan projectionist. Sebelum 4 Juni 2009, seorang pria bertubuh kurus, bersuara pelan, menghabiskan waktunya selama 55 tahun di dalam ruangan tempat imaji bergerak itu diproyeksikan. Pria itu bernama pak Udin, ia adalah seorang projectionist bioskop Karia, kakek dari salah seorang anak sarueh–Jelitha Ramadhani. Saya memang tidak memiliki kenangan dengan pak Udin. Sebaris kalimat dari tulisan Jelitha Ramadhani yang dimuat di akumassa.org pada 14 Maret 2010, yang saya penggal lagi, “kakekku sedang terbaring di rumah sakit, sehari setelah pemutaran beliau pusing di pasar dan sempat pingsang.” [7] Kalimat tersebut sungguh membuat bulu kuduk ini merinding saat sepintas ia hadir membayangi imaji fiktif saya.
Pak Udin juga merupakan salah satu narasi video akumassa Padang Panjang, berjudul Projectionist Tua. Sejenak saya berhenti menulis dan menonton video Projectionist Tua. Saya kembali melihat pak Udin, dan sepenggal ucapannya, lagi-lagi membuat bulu kuduk ini merinding. Pak Udin berucap, “dulu penontonnya penuh, apalagi kalau filem Indonesia yang diputar.”
Bioskop Karia berdiri pada tahun 1931. Awalnya terbuat dari papan kayu dan dipugar pada 9 oktober 1974, dengan luas 10×6 meter, dan bisa menampung 700 orang. [8]Sedangkan pak Udin bekerja sebagai seorang projectionist di bioskop Karia sejak 1954. Pada tahun 2000, persebaran VCD/DVD di Padang Panjang sudah mulai gampang diakses masyarakat. Ditambah lagi tidak ada filem-filem baru yang masuk, dikarenakan harga filem seluloid sudah mahal. Terhitung sejak saat itu bioskop Karia mulai sepi dari penonton. Dari tahun ke tahun, penonton yang datang dapat dihitung dengan jari.
Saat umur pak Udin memasuki 70-an, ia masih tetap memutarkan citraan seluloid itu di bioskop Karia. Entah apa yang membuatnya bertahan, meskipun terkadang penonton yang datang hanya ada satu atau dua orang paling banyak. Sedangkan gaji yang diperolehnya tidak kurang dari seratus ribu rupiah setiap bulannya. Saat pemutaran video akumassa Padang Panjang pada 26 Februari 2009, sewaktu Fandi Taufan dan Dani Gombloh (bertindak sebagai MC) menggiringnya ke depan. …Pak Udin menyampaikan pernyataan kagumnya karena sudah sepuluh tahun lebih, ia tidak melihat kursi di bioskop ini terisi penuh dengan penonton.[9]
Seharusnya Pemerintahan kota Padang Panjang memberikan penghargaan pada pak Udin sebagai seorang pahlawan sinema di kota Padang Panjang. Dan pak Udin sangat layak mendapatkannya. Pak Udin adalah pahlawan sinema. Tapi sepertinya percuma saja, pak Udin sudah meninggal dua tahun lalu. Jika pak Udin masih hidup yang kira-kira umurnya sudah ¾ abad, mungkin ia tidak butuh penghargaan, ia hanya ingin masyarakat Padang Panjang masih tetap datang menonton filem-filem kesukaan mereka di bioskop Karia.
Sebidang jendela dengan tiga daun jendela yang saya dapati dalam foto ini, adalah imaji denotatif yang memang sudah menjadi bagian dari gedung bioskop Karia. Sedangkan daun jendela yang bagian tengahnya tampak sedikit terbuka adalah realitas yang ada di sana (pada realitas) dan ketika Qnoy menghadirkannya dalam foto hanya menjadi realitas telanjang dan sama sekali tidak memberikan pesan yang terkodekan. Tapi lewat pengalaman historis yang pernah bersentuhan di dalamnya dapat menguraikan narasi-narasi kecil yang tidak terlihat di dalam foto, seperti narasi tentang almarhum pak Udin.
Perspektif datar [10] yang tampak dalam foto ini terdapat tiga komponen imaji yang dibentuk oleh garis, tekstur, warna. Komponen pertama adalah langit yang gelap, kedua gedung bioskop Karia dengan perkarangannya dan di belakang gedung ada sebaris pagar dengan tembok bercat putih –di dalamnya ada mobil berwarna hitam. Dan komponen ketiga adalah ruas jalan.
Ketiga komponen dipertemukan dengan tanda-tanda yang saling keterhubungan dan dimaknai dengan tiga lapisan pesan berbeda yang melekat pada masing-masing imaji—fotografis. Masing-masing pesan telah terstrukturalkan berupa pesan tak terkodekan dan pesan terkodekan. Baca—tafsir yang dilakukan harus murni dengan kesadaran yang tidak bersifat fiktif, tapi kesadaran antara apa yang sudah ada di dalam foto dengan apa yang masih ada dalam realitas—sebelum dan sesudah; realitas tersebut dibekukan.
Komponen pertama, langit yang gelap, merupakan imaji denotatif sebagai penanda temporal waktu—siang—malam—yang selalu berganti di setiap keseharian. Komponen ketiga (komponen kedua saya tinggalkan sebentar) saya memulainya dengan garis vertikal berwarna merah yang sejajar dengan ruas jalan. Sepertinya bias dari cahaya lampu kendaraan yang melintas. Jika diperhatikan sedikit lebih lama, garis vertikal berwarna merah hanyalah imaji parasit yang tidak diinginkan hadir di dalam foto. Sedangkan ruas jalan yang dibentuk dengan perspektif satu titik hilang dan garis zebra cross pada ruas jalan—tidak diperlihatkan secara keseluruhan—adalah imaji denotatif yang sudah diperhitungkan sebagai pesan terkodekan.
Garis vertikal berwarna merah pada komponen ketiga, bisa kita perkirakan, sudah lewat tengah malam, masih ada kendaraan yang melintas di sekitar sana. Apalagi kalau malam sudah selesai, cukup banyak kendaraan lalu lalang yang datang dari dua arah. Dan pada ruas jalan juga disediakan garis zebra cross khusus untuk pejalan kaki yang ingin menyeberang. Penanda yang tidak begitu rumit, komponen ketiga adalah indentifikasi tempat, bahwa gedung bioskop Karia terletak di jantung kota.
Pada komponen kedua, terlihat gedung bioskop Karia dengan perspektif dua titik hilang yang sudah rusuh, lusuh tapi masih menampaki kemegahan bangunannya yang bergaya artdeco (gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II) yang membelakangi sebaris pagar dengan tembok bercat putih. Bagian depan, pekarangan yang cukup luas selalu siap menunggu kendaraan-kendaraan untuk parkir di depan sana. Pada bagian bawah samping kanan gedung, berjejer kursi dan meja yang tersusun rapi dan merapat ke dinding. Sebelahnya, pada siku dinding, kotak merah persegi panjang yang dibusanakan dengan kain terpal berwarna biru berdiri tegak seolah berhadapan mengintai lensa kamera.
Imaji denotatif yang tidak dikodekan. Saat di dalam foto telah menjadi realitas telanjang, dengan petanda yang telah lebih dulu dikodekan (pada realitas) oleh orang yang menyusun kursi, meja, dan kotak merah persegi panjang dengan rapi. Petanda tersebut dihujani oleh teks sebagai petanda lain yang sepertinya sengaja melekat pada imaji. Teks yang tertulis; Bakso—Pak De dan Cocacola merupakan pesan linguistik yang tidak ingin menjadi parasit tapi berupaya mengidentifikasi aktifitas penamaan.
Pada realitas, kursi, meja, dan kotak merah persegi panjang dengan teks yang tertulis menginformasikan terutama bagi orang yang pertama kali lewat di sekitar sana, setelah malam—bisa saja pagi, siang, atau sore—kalau di sini ada kedai bakso Pak De (Pak De bisa diartikan nama pemilik kedai bakso dan bisa juga sebagai nama kedai bakso) yang berjualan setiap harinya. Dan penambahan teks cocacola, dengan sangat sadar pemilik bakso seolah ingin bergantung untuk menarik pembeli. Karena teks cocalcola sudah sangat familiar bagi masyarakat.
Sedangkan pada foto, kedai bakso Pak De tampak kelelahan bersandar pada dinding bioskop Karia dan juga menjadi dinding kedai saat pembeli datang dan duduk makan di sana. Dalam hal pemilihan tempat, bakso Pak De memiliki starategi dagang yang cukup matang, ia berjualan di sebelah dinding bioskop Karia yang terletak di tengah keramaian kota. Besar ruangan yang siap menampung 700 penonton, berharap sekitar 25% dari penonton yang datang kemungkinan akan singgah untuk makan bakso sebelum atau setelah menonton. Atau mungkin pada saat ‘sekarang’ perkiraan itu berbanding terbalik, dinding-dinding bioskop Karia tampak kelelahan menunggu pembeli bakso Pak De untuk membeli tiket dan mengajak teman, kerabat, tetangga, keluarga mereka menonton filem di bioskop Karia.
Petanda estetis dalam fotografi terletak dalam pembeberan kenyataan.[11] Setiap lampisan pesan pada imaji fotografis akan bersifat kontinyu [polos,telanjang].Yang kemudian diselesaikan oleh pesan-simbolik-ketiga. Saya fikir, Qnoy melakukanya dengan cukup baik. Dan salah satu letak keberhasilannya adalah ia cukup selektif ketika mengkodekan imaji fotografis dalam bingkaiannya. Pertimbangan dengan tidak menghadirkan satu orangpun di dalamnya. Sadar atau tidak sadar sekiranya Qnoy telah mengkodekan petanda estetis pada fotonya, yang mampu merepresentasikan pesan ketiga (pesan ‘simbolik’, denotatif) untuk memaknai realitas kekinian bioskop Karia.
Bioskop Karia adalah milik seorang pengusaha yang tinggal di kota Padang, bernama Wariko Angriawan. Yang dibangun oleh kakeknya. Tidak pernah jelas apa alasan Wariko sampai saat sekarang mempertahankan bioskop ini tetap aktif. Apakah ia menunggu harga tanah sudah menjulang tinggi baru menjualnya atau ia harus befikir dua kali untuk meruntuhkannya karena peninggalan kakeknya. Atau karena Wariko memiliki kencintaan terhadap ruang sinema ini. Jika memang iya, kenapa Wariko membiarkan bangunannya selalu sepi tanpa orang yang berkunjung ?
Pada tahun 2009 ada sepuing cerita yang menggelitik hasrat saya terhadap filem. Saat itu satu tiket seharga Rp.7.500. Dengan jadwal tayang satu kali dalam seminggu, setiap hari Jumat, pada pukul 14.00 wib dan pukul 20.00 wib. Sehabis magrib saya bersama teman-teman sarueh lainnya dan fasilitator akumassa Padang Panjang pergi menonton filem di bioskop Karia. Saya tidak mengira, ternyata bioskop ini punya penonton setia. Kalau saya tidak salah ingat, ada sekitar empat orang. Mereka setiap hari Jumat selalu datang untuk menonton filem.
Yang membuat saya sangat kaget, salah satu dari mereka adalah seorang pengemis tua yang setiap sore selalu saya jumpai duduk meminta di trotoar sebelah gedung M.Syafei Padang Panjang. Saya berbincang dengannya, dan memposisikan diri saya sama-sama sebagai penonton. Pengemis tua bercerita, sewaktu masih muda ia selalu datang menonton filem bersama teman-temannya. Sekarang ia hanya datang sendiri dan tidak ada orang yang tahu kalau ia datang ke sini. Dan orang-orang juga tidak peduli kenapa ia harus menonton filem.
Tapi sangat disayangkan, saya juga tidak menanyakan kenapa ia masih datang untuk menonton filem. Saya hanya bisa mengira-ngira. Mungkin saat ia berada di ruang sinema, pengemis tua tidak merasa sendiri, karena ia seperti sedang menonton bersama teman-temannya. Perkiraan yang sedikit naif dan fiktif.
Dan terakhir saya datang ke bioskop Karia bulan Juni 2011 pada hari Jumat. Saya dan teman-teman sarueh lainnya dengan bangga mengajak Kristyna, Rita dan Jackie (darmasiswa ISI Padang Panjang) kalau Padang Panjang juga punya gedung bioskop. Tapi kami kurang beruntung dan mendapat kabar yang sedikit miris. Kalau pak Edi projectionist baru yang menggantikan pak Udin, sudah sepuluh menit lalu pulang ke rumah karena berfikir tidak akan ada penonton yang datang. Dan pengemis tua itu juga sudah tidak ada lagi, saya tidak tahu dimana ia sekarang.
Setelah berbincang dengan Qnoy, saya baru tahu foto ini berjudul “Blank Kino”. Pesan linguistik pada substansi teks yang dihadirkan Qnoy, tidak begitu menjadi parasit. Tapi cukup bisa membungkus semua pesan dalam imaji fotografis yang dibekukan Qnoy.
Proses pertandaan selalu dibangun oleh masyarakat dan sejarah yang nyata. [12]Bioskop Karia memiliki sejarah realisme yang panjang, banyak aspek yang terkandung di dalamnya, serta banyak sentuhan narasi-narasi kecil yang hidup di sekitarnya. Bioskop Karia juga menjadi sesuatu yang sangat penting dalam sejarah dan perkembangan sinema di Indonesia, khususnya di Padang Panjang. Dan baca—tafsir yang saya lakukan, masih sangat sedikit sekali dari apa yang belum teruraikan.
Tapi saya ucapkan selamat dan terimakasih pada Qnoy. Meskipun “Blank Kino” tidak menyelamatkan bioskop Karia dari keruntuhannya, tapi pada masa depan yang terus datang, apakah pak Wariko Angriawan mempertahankan atau merelakan bioskop Karia dengan alasan-alasan tertentu yang akhirnya bernasib sama seperti gedung bioskop Djaja. Setidaknya “Blank Kino” telah memberikan sebuah kenangan yang dapat dibaca—tasir ulang oleh orang-orang yang memiliki pengalaman historis dengan bioskop Karia atau mereka yang jatuh cinta pada sinema.
“Blank Kino” bukan bekas yang tersisa tapi jejak yang terkenang.
————————————————————————————————–
- Barthes, Roland.2010. Imaji, musik, teks. Yogyakarta: Jalasutra, 2
- Barthes, Roland, 23
- Barthes, Roland, 14
- Bazin, Andre.1996. Sinema, Apakah Itu ?. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 5
- Barthes, Roland, 32
- Ramadan, Rizki. Ketika Penderitaan Menjadi Objek Wisata Pehobi Fotografi.http://jarakpandang.net/blog/?p=580 diakses pada tanggal 17 Juli 2011 pukul 20.18 wib
- Ramadhani, Jelitha. Projectionist di Bioskop Tua Padangpanjang.http://akumassa.org/program/padang-panjang-sumatera-barat/projectionist-di-bioskop-tua-padangpanjang/ diakses pada tanggal 15 Juli 2011 pukul 20.00 wib
- Nurani, Puji. Bioskop Karia di Padangpanjang.http://akumassa.org/program/padang-panjang-sumatera-barat/bioskop-karia-di-padangpanjang/ diakses pada tanggal 15 Juli 2011 pukul 20.00 wib
- akumassa. Pemutaran 10 Karya Video di Gedung Bioskop Tua Padangpanjang. http://akumassa.org/program/padang-panjang-sumatera-barat/pemutaran-10-karya-video-di-gedung-bioskop-tua-padangpanjang/diakses pada tanggal 15 Juli 2011 pukul 20.00 wib
- Seniman-seniman besar era Renaisans sewaktu itu belum mengerti tentang perspektif. Setelah ditemukannya kamera Obscura oleh Ibn Al-Haytham (Alhazen) di Persia—seniman telah didekatkan dengan objek lukisnya sehinga memudahkan mereka melihat perspektif dalam bidang datar untuk melukis. (bahan ajar untuk fasilitator workshop akumassa dari Kordinator program akumassa)
- Bazin, Andre, 5
- Barthes, Roland, 14
————————————————————————————————–
Riki Rikarno akrab dipanggil Qnoy. Salah seorang pendiri UKM Mapala Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Tercatat sebagai Sarjana Seni dengan program studi Seni Kriya pada Juni 2010 di ISI Padang Panjang. Kertarikannya terhadap dunia visual, Qnoy melanjutkan sekolahnya di ISI Padang Panjang dengan program studi Penciptaan Film.kesenian dul muluk adalah pendidikan karakter
PENDAHULUAN
Setiap kali membicarakan
pendidikan, maka yang terlintas di benak kebanyakan orang adalah belajar
didalam kelas mempelajari matematika, bahasa inggris, kimia, fisika, geografi
dan ilmu-ilmu umum lainnya. Proses
pendidikan itu sendiri tidak hanya memberikan ilmu-ilmu yang telah dijadikan
kurikulum oleh instansi pendidikan kepada peserta didik, tetapi juga membentuk
watak, moral dan pengembangan potensi diri dari peserta didik itu sendiri
sehingga linierlah antara apa yang seharusnya terjadi pada dunia pendidikan
kita saat ini dengan jabaran UUD
1945 tentang pendidikan
yang
dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan,
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." ( 2003:4).
Kondisi pendidikan yang terjadi
saat ini cendrung sentralistik dan birokratik memfokuskan pada pendidikan
formal, sedangkan untuk mencapai tujuan dari pendidikan nasional tidak cukup
melalui instansi pendidikan formal saja tetapi juga melibatkan kehidupan sosial
sekitar. sesuai pandangan tilaar dalam
bukunya menegaskan pendidikan harus diarahkan ke perencanaan partisipatoris
yang meminta ikut serta masyarakat, orang tua, bahkan peserta didik dalam mencapai
tujuan pendidikan nasional (Tilaar,1992:06). Jadi proses pendidikan itu
sendiri tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi pintar juga harus bisa
membentuk karakter diri yang lebih baik.
Jika melihat kembali lagi ke
belakang, sebenarnya apa yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman dahulunya
telah menjalani proses pendidikan yang sebenarnya dapat dilihat dari setiap
kesenian-keseniannya. Setiap kesenian daerah di nusantara tidak lepas dari
sebuah pesan moral, pendidikan karakter sesuai dengan ketimuran. Salah satu
kesenian tradisi daerah yang memberikan pesan moral adalah teater rakyat Dul muluk, Dul muluk merupakan teater rakyat masyarakat Riau dan Sumatera
Selatan. Tetapi pada era teknologi komunikasi informasi, seni drama sebagai
produk budaya berada pada posisi yang sering terabaikan. Produk-produk kesenian
lainnya seperti film, musik dan tari mendapat perhatian dan apresiasi lebih
besar dari masyarakat karena lebih mudah dijangkau, baik dalam bentuk
pertunjukan langsung maupun melalui siaran televisi ( Pratiwi dan Siswiyanti,
2014:9 ), kondisi ini tidak jauh beda dengan keberadaan teater
daerah Dul muluk Palembang di
tengah-tengah masyarakatnya.
Salah satu versi tentang
sejarah Dul muluk, teater ini bermula
dari syair Raja Ali Haji sastrawan yang pernah bermukim di Riau, sejalan
perkembangannya teater ini menyebar ke
daerah melayu hingga masuk ke Palembang dimana pertunjukan itu mulai dikenal
sebagai Dul muluk pada awal abad
ke-20. Awal mula terbentuknya teater ini adalah berupa pembacaan
syair oleh seorang yang bernama Wan Bakar yang bertempat tinggal di Kampung Tangga Takat (sekarang 16 Ulu) Palembang pada tahun 1854. Wan Bakar
adalah seorang pedagang keliling
keturunan Arab yang sering melakukan perjalanan berdagang ke Singapura, Negeri
Johor Malaysia, Kepulauan Riau, dan Pulau Bangka. (Dalyono dan Saleh, 1996:16).
Pertunjukan teater rakyat Dul muluk dipentaskan oleh masyarakat
Palembang biasanya pada acara-acara hajatan pernikahan, kitanan, dan
acara-acara event kesenian. Ada
beberapa naskah yang diceritakan pada teater Dul muluk ini antara lain, lakon Zainal abidinsyah, Zubaidah Siti,
Sultan Abdul Muluk Pribadi dan Muaro Keramo, konsep pertunjukannya hampir sama
dengan wayang orang. Ceritanya juga cenderung serius dan sesuai dengan alur
cerita, sesuai perkembangannya alur cerita yang serius telah di selipkan humor
didalamnya yang dinamakan hadam untuk
menghibur penonton.
Dalam pertunjukan kesenian
teater rakyat Dul muluk yang mana
didalamnya terdapat cerita lakon yang dimainkan oleh aktor langsung, terdapat
syair-syair melayu yang memberikan pesan moral dan lagu-lagu melayu. Bentuk
pertunjukan dul muluk tidak jauh beda dengan teater-teater daerah lainnya
seperti pertunjukan wayang orang, lenong di betawi, penontonpun bisa
membalas dialog dari para aktor Dul muluk.
Dari pertunjukan ini penonton tidak hanya terhibur pada saat pertunjuan, tetapi
penonton dapat membawa pulang pesan-pesan sosial yang ada di pertunjukan Dul muluk tersebut. Jikalau dikaitkan
dengan tujuan pendidikan nasional, maka Dul
muluk yang merupakan salah satu kesenian tradisi daerah Palembang dapat
menjadi media pembelajaran partisipatori masyarakat dalam membangun karakter
bangsa yang lebih baik, maka dapat dirumuskan permasalahan bagaiamaa teater daerah
Dul muluk Palembang sebagai
media pembelajaran karakter, dengan
demikian perlu kiranya untuk menganalisis lebih jauh bentuk pertunjukan teater daerah Dul muluk Palembang dengan
menginter-pretasikan mengunakan teori. Disetiap kehidupan manusia sebenarnya sudah
menciptakan dan memakai teori.
Orang yang paling erat hubungannya dengan kegiatan praktek
sekalipun tetap berpegang pada fakta dan harus menginter-pretasikannya sehingga relevan baginya
demikian pendapat Jhonson (dalam Dhony, 2014:16). Konsep teori
dramaturgi dalam
penelitian ini sangat diperlukan untuk membedah bentuk pertunjukan teater Dul
muluk. Dramaturgi merupakan serapan atau pungutan dari
bahasa Belanda dramaturgie yang
berarti ajaran tentang seni drama atau dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau
tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater (Harymawan,
1993: iii). Berdasarkan pengertian ini, maka dramaturgi
membahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga
pementasannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dramaturgi adalah
sebuah teori yang mempelajari seluk beluk cerita dan naskah skenario yang di
dalamnya terdapat studi struktur dramatik, plot atau alur cerita, tema, dan
amanat, penokohan dan setting atau peristiwa. Dari sekian banyak cerita yang
dimainkan dalam teater daerah Dul muluk, salah
satunya adalah cerita Zainal Abidinsyah
yang didalamnya banyak mengandung pesan-pesan moral yang mengarah ke pendidikan
karakter masyarakat palembang.
Untuk mengetahui bagaimana
peran teater daerah Dul muluk Palembang
sebagai media pembelajaran karakter sesuai pandangan Endraswara
bahwa drama adalah karya sastra dialogis. Karya ini tidak turun begitu saja
dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan
sering menjadi momentum penting dalam drama. Inti drama, tidak lepas dari
sebuah tafsir kehidupan. Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan
(mimetik) terhadap kehidupan juga tidak keliru. Detail atau tidak, dia berusaha
memotret kehidupan secara imajinatif( Endraswara, 2011:16), untuk itu
perlu pembahasan yang lebih jauh tentang teater Dul muluk palembang.
PEMBAHASAN
Bentuk
Penyajian Teater Daerah Dul muluk
Dul
muluk dapat
digolongkan kedalam seni pertunjukan karena merupakan salah satu jenis teater
tradisional yang digarap dalam bentuk pertunjukan atau dipertontonkan kepada
masyarakat luas. Dul muluk dipertunjukan
atau dipertontonkan oleh masyarakat Palembang biasanya pada acara kenduri, acara-acara
nasional juga pada event-event yang diadakan. Pergelaran diadakan semalam
suntuk yang dimulai biasanya setelah sholat isya
hingga sebelum sholat subuh, namun seiring
dengan perkembangannya teater daerah Dul
muluk sekarang bisa disesuaikan dengan kebutuhan seperti bisa dijadikan
dengan durasi 30 menit s/d 120 menit.
Biasanya pertunjukan Dul muluk dipertunjukan di arena atau lapang
terbuka
jika tidak mempunyai panggung dan
dibelakangnya ada tempat berhias yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu bagi
para pemain. Tempat berhias yang dinamakan jubung, jubung ini teridiri dari bagian tanah
lapang yang dikelilingi dengan pembatas dari empang (alat menangkap ikan). Jika
tidak ada empang dan jubung ini
biasanya dibatasi dengan daun-daun atau tikar. Di tengah arena lapangan tempat
bermain ada beberapa buah tempat duduk para pemain yang terdiri dari
bahan-bahan apa adanya seperti lesung tempat menumbuk padi, kaleng bekas, kotak
kayu, dan lain-lain. Para pemain duduk berhadap-hadapan sehingga penonton hanya
melihat punggung-nya saja. Di arena tempat bermain dan jubung tempat berhias, terdapat seperangkat musik pengiring (Dalyono dan Saleh dalam Dhony,
2014 : 40).
Pergelaran teater daerah Dul muluk
dimulai dengan penampilan musik sebagai tanda pertunjukan dimulai. Para pemain
musik ini disebut panjak, yang
terdiri dari empat orang, yaitu: pemain biola, penabuh jidor, bande atau tetawak (gong), gendang besar. Lagu yang dibawakan
awal pertunjukan adalah tembang kisoh[1] atau bekisoh yang dibawakan oleh seorang penyanyi dari dalam jubung[2], lain
hal dalam istilah dramaturgi jubung disebut panggung belakang (back
stage) adalah ruang dimana berjalan skenario pertunjukan
oleh tim, sehingga penyanyi tidak tampak oleh penonton, yang terdengar hanya
suaranya saja. Kisoh
merupakan persamaan
struktur yang nampak pada Teater Bangsawan.
Setelah kisoh ditembangkan, dilanjutkan
dengan penampilan bermas[3] memasuki arena pentas untuk menghibur penonton. Bermas adalah salam pembuka dan penutup pada pementasan teater Dul muluk. Bermas merupakan suatu bentuk penghormatan kepada tuan rumah
yang mengadakan hajatan dan para penonton yang dilakukan oleh para pemain. Dalam melakukan bermas,
para pemain tampil pada posisi
berdiri berdampingan, sambil bernyanyi melangkah ke kiri dan ke kanan berirama
seperti gerak tari.

Para
pemain Dul muluk melakukan Bermas
( Photo
: Riki, Oktober 2014 )
Setelah
selesai penampilan bermas, para pemain memberi hormat
kepada penonton dengan cara membungkukkan badan dan tangan disilangkan sejajar
dengan perut. Demikianlah acara penghormatan kepada penonton yang disebut dengan bermas baik dilakukan pada pembukaan maupun penutup. Adegan bermas masih
dilakukan hingga sekarang, hanya saja syairnya berbeda, serta ada juga yang
mempergunakan syair-syair baru dan disesuaikan dengan keperluan pertunjukan.
Setelah selesai bermas, dilanjutkan dengan penampilan Dul
muluk dalam Lakon Zainal
Abidinsyah karya Johar Saad.
Banyak cerita dalam pertunjukan
teater daerah Dul muluk Palembang
salah satu cerita yang ditampilkan adalah Zainal
Abidinsyah yang diangkat dari Lakon Abdulmuluk
Jauhari karya Johar Saad. Cerita Zainal
Abidinsyah menceritakan tentang kisah seorang Raja Bermansyah yang bersifat
arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan dari Negeri Kehayat Berbari yang
memiliki Istri dan memiliki seorang anak yaitu Zainal Abidinsyah dan dua orang
pengikut setia (abdi) yaitu Hadam 1 dan Hadam 2, dalam kisahnya raja Bermansyah
sangat menyanyangi anaknya dan menghargai sekali akan pendidikan anaknya guna
bekal ilmu pengetahuan karena anaknya sebagai pewaris tunggal Kerajaan Kehayat
Berbari.
Dapat dijabarkan sinopsis teater
daerah Dul muluk lakon Zainal Abidinsyah:
Alkisah di suatu negeri kehayat
yang diperintah oleh seorang raja yang bernama Bermansyah yang arif dan
bijaksana mempunyai seorang putra yang bernama Zainal Abidinsyah. Pada suatu
hari Zainal Abidinsyah pulang berburu. Ia hendak meminta izin kepada orang
tuanya untuk belajar ke negeri asing guna mencari ilmu pengetahuan untuk bekal
hidupnya dimasa yang akan datang. Setelah pulang berburu ia merasa lelah dan
akhirnya Zainal Abidinsyah tertidur, dan di dalam tidurnya ia bermimpi bertemu
seoarang putri yang cantik jelita, namun putri itu merasa ketakutan karena
dikejar-kejar oleh perampok atau Hulubalang. Tetapi Zainal Abidinsyah berhasil
mengalahkan Hulubalang, dan putri pun terkagum atas keberanian Zainal
Abidinsyah. Di dalam kisahnya Zainal Abidinsyah melantunkan lagu dan menari
dengan sang putri. Ketika Zainal Abidinsyah terbangun dari mimpinya ia merasa
sedih dan menanyakan kemana perginya putri yang ia temui.
Pada suasana kerajaan, raja Bermansyah menanyakan
maksud dan tujuan hidup Zainal Abidinsyah. Lalu Zainal Abidinsyah menjawab ia
ingin pergi belajar ke negeri asing dan syarat kedua Hadam (abdi) ikut serta
dalam perantauannya. Tak lupa pula nasihat dan petuah permaisuri selalu ia
ingat. Pedoman Zainal Abidinsyah kalau memerintah negeri tanpa ilmu pasti akan
hancur negeri warisannya. Walaupun dengan berat hati kedua orang tuanya
mengizinkan Zainal Abidinsyah dan kedua Hadam untuk belajar ke Negeri asing
guna perjuangan negeri di masa mendatang. Pada akhir cerita seluruh kerabat
istana mengantarkan kepergian Zainal Abidinsyah dan kedua Hadam untuk belajar
ke negeri asing.
Dari
sinopsis tersebut tokoh didalamnya tidak terlihat secara keseluruhan maka perlu
dilihat tokoh-tokoh yang terdapat didalam naskah secara keseluruhan, dan Jones menyatakan penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita (Jones,
Edward H. dalam Dhony, 2014 : 45) dan berikut ini para pelaku teater
Dul muluk dalam Syair Abdulmuluk Jauhari: (1) Sultan Abdulmuluk, ialah raja yang
berwajah tampan, berwibawa dan gagah
berani; (2) Sultan
Abdulhamid Syah, ialah ayah Sultan Abdulmuluk yang berwajah tampan, berwibawa
dan gagah berani; (3) Wasir Suka, ialah penasehat raja; (4) Sultan Syabudin Hindi, ialah seorang Raja dari
Negeri Hindustan yang memiliki sifat jahat dan kejam (antagonis); (5) Permaisuri Siti Rofea, ialah
istri pertama Sultan Adbulmuluk memiliki wajah yang cantik, dan mempunyai wibawa. Siti
Rofea dalam kisahnya ikut terjun langsung membela suaminya dan melawan musuh suaminya yaitu Hulubalang 7 yang
terkenal sangat jahat; (6) Permaisuri Siti Rahma, ialah istri kedua Sultan
Abdulmuluk.
Siti Rahma
memiliki wajah yang cantik rupawan, dalam ceritanya Siti Rahma diculik oleh Sultan
Syabuddin Hindi. Sultan Syabuddin sangat mengagumi Permaisuri
Siti Rahma
sehingga Siti Rahma diculik untuk dijadikan istrinya; (7) Siti
Arohalbani, ialah istri ketiga Sultan Abdulmuluk; (8) Hulubalang, ialah perampok
dan musuh
Sultan Abdulmuluk memiliki wajah yang sangat menakutkan, jelek dan
berwatak jahat; (9) Mak Dayang, ialah orang
kepercayaan permaisuri
yang memiliki
sifat keibuan yang merawat dan mengasuh permaisuri; (10) Hadam, ialah pengikut setia Sultan Abdulmuluk yang memiliki sifat suka menghibur
(komedian).
Teater
Daerah Dul muluk Sebagai Media
Pembelajaran
Teater daerah Dul
muluk Palembang merupakan salah satu media pembelajaran karakter bagi
masyarakatnya, sesuai dengan pandangan Supriyadi, drama atau teater sebagai
sarana atau media pendidikan tidak perlu diperdebatkan lagi. Drama menjadi
media pendidikan yang cukup efektif disamping lembaga-lembaga formal
(Supriyadi,2013:95). Pertunjukan teater Dul muluk mengandung nilai-nilai luhur budaya
melayu Palembang
yaitu pesan moral yang disisipkan lewat pertunjukan yang di sampaikan melalui
dialog sang aktor dimana pesan-pesan moral ini dapat menjadi pegangan dan
pedoman bagi kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai moral yang di pesankan pada pertunjukan
teater Dul muluk dianggap berhasil apabila
fungsinya sebagai tuntunan dan tontonan dapat disajikan dengan seimbang dan
selaras. Dimana tuntunan yang dimaksud adalah tuntunan yang mengarah pada ranah
pendidikan (pedagogis).

Pertunjukan Dul muluk oleh mahasiswa salah satu
perguruan tinggi di Palembang
( Photo : Riki, Oktober 2014 )
Penyampaian nilai-nilai moral dalam pertunjukan teater
daerah Dul muluk Palembang dapat dilihat melalui
tema yang diangkat dalam ceritanya, seperti tema yang diangkat dalam teater Dul muluk dalam lakonnya Zainal Abidinsyah termasuk tema
tradisional, karena diangkat dari karya sastra lama yaitu syair Abdulmuluk yang dikembangkan lagi ke
dalam teater masa kini. Lakon Zainal
Abidinsyah lebih mengutamakan tema sosial yaitu pandangannya terhadap dunia
pendidikan, petuah dan nasihat orang tua, kepatuhan terhadap orang tua,
mencintai dan menghargai arti sebuah kesetiaan, serta tidak melupakan agama
karena agama merupakan pedoman menuntun kebaikan.
Potongan naskah dalam adegan teater
daerah Dul muluk dengan tema utama
(mayor) yang terdapat dalam naskah dialog lakon Zainal Abidinsyah:
Pengawal masuk ke dalam, tak
lama kemudian Sultan Abidinsyah keluar bersama pengawal.
Abidinsyah: Ananda hadir Ayahanda dan
Ibunda.
R. Bermansyah: Ananda Abidinsyah, Ayahanda bertanya
tentang dirimu, coba kau uraikan kepada Ayahanda dan Ibunda supaya kami dapat
keterangan darimu.
Abidinsyah: Daulat Ayahanda dan Ibunda,
semenjak ananda dibesarkan, dari kecil sampai dewasa, cukup semua tidak ada
kekurangan, apalagi ilmu yang diberikan oleh Guru kepada Ananda, sudah semua
ananda pelajari sama sekali, begitu saja ananda kepada Ayahanda, bunda di dalam
negeri.
Permaisuri: Ananda Abidinsyah begitulah
seorang anak harus patuh terhadap guru, selain kedua orang tua, dan apalagi
yang ananda pinta kepada Ibunda, pasti kami kabulkan, jangan saja meminta bulan
dan bintang.
Abidinsyah: Duli Ibunda, ananda minta izin
kepada Ayahanda dan Ibunda, ananda ingin sekali belajar ke Negeri Asing untuk
menambah pengetahuan nantinya kalau ananda memerintah tidak banyak mempunyai
ilmu pasti akan hancur Negeri warisanmu Ayahanda.
R. Bermansyah: Anakku Abidinsyah, benar sekali apa
katamu belajar sangatlah berguna dalam hidup, dari kita lahir hingga kita
meninggal, dalam hidup kita wajib belajar. Belajar apa saja yang berguna,
berguna bagi diri sendiri, ataupun untuk orang lain. Apalagi engkau nantinya
akan menjadi pemimpin. Baiklah Ayahanda izinkan engkau belajar ke Negeri Asing
setelah selesai pelajaranmu cepatlah kembali.
Permaisuri: Anakku Abidinsyah kalau jadi
pemimpin, hadis dan dalil hendaklah yakin. Binalah olehmu orang yang miskin
supaya dirimu jadi terjamin. Di dalam Al-quran ada firman: hadis dan dalil
adalah pedoman janganlah jalan kezoliman supaya negeri makmur dan aman. Kalau
kau nanti duduk di atas tahta, engkau janganlah dusta, bangunlah desa dan kota
supaya dinikmati rakyat semesta.
R. Bermansyah: Anakku Abidinsyah ketiga dusun
Tanjung Balai, termasuk juga Tanjung Agas, kau bekerja janganlah lalai,
hati-hatilah menjalankan tugas, kau adalah generasi muda, harapan kami penerus
perjuangan di dalam Negeri.
Abidinsyah: Terima kasih Ayahanda dan
Ibunda pesan dan nasihat akan ananda sematkan di dalam hati, jika berjalan
kujadikan tongkat jika tidur kujadikan bantal.
R. Bermansyah: Pengawal kau panggil kedua Hadam
datang kemari.
Dapat
di lihat pada potongan-potongan
dialog tersebut pesan moral yang disampaikan yaitu pesan menghargai orang yang
lebih tua termasuk patuh kepada guru, juga sebuah motifasi untuk menuntut ilmu
yang lebih tinggi kepada generasi muda. Tidak hanya itu pesan moral yang
disampaikan pada potongan kecil dialog diatas tidak luput pula sebuah pesan bagaimana
menjadi seorang pemimpin yang baik.

Salah satu adegan Dul muluk
cerita Zainal Abidinsyah
( Photo : Riki, September 2014
)
Begitu juga pada tokoh-tokoh yang
ada dalam teater daerah Dul muluk, tokoh
berperan sebagai orang yang terpelajar atau intelektual di mana ia dapat
bertindak sebagai seorang pendidik atau guru yang dapat menyampaikan pesan
moral yang baik kepada masyarakat pendukungnya. Salah satu pesan pendidikan
atau pesan moral dalam pertunjukan teater Dul muluk
yang disajikan di kota Palembang pada
sebuah event, berupa ajakan kepada masyarakat agar mewajibkan belajar pada
anaknya selama 12 tahun yang disampaikan melalui dialog tokoh Hadam 1 dan Hadam
2. Tokoh Hadam di dalam teater Dul muluk
merupakan tokoh yang bersifat sebagai penghibur atau lawakan, adapun dialog
yang disampaikan adalah sebagai berikut.
Hadam 2: Hai
wakyeng, (menghampiri Wakyeng bersalaman) apa kabar?
Hadam 1: Aiy baik-baik bae Mangdul, mak mano kabar
kau pulok?
Hadam 2: Syukurlah
Wak Yeng, pertamo kito samo-samo sehat, makonyo kito harus mensyukuri nikmat
sehat. Karena dengan sehat, kito biso begawe. Bener dak Mangdul.
Hadam 1: Bener nian Wakyeng, cubo kalau kito
sakit, idak pacak sekolah, rugi kito, karena belajar itu, sangat….sangat
penting untuk masa depan kito, dan bangsa kito ini.
Hadam 2: Bener… bener itu, bayangke bae, kalau
rakyat negeri ini bodoh cakmano masa depan bangso kito.
Hadam 1: Iyo
nian, makonyo, mak ini pemerintah menggiatkan wajib belajar 12 tahun, supayo
paling idak rakyat negeri ini bisa tamat SMA galo, jadi idak terlalu bodoh
nian.
Hadam 2: Mak ini kesempatan buat rakyat negeri
ini. Makonyo jangan disio-sioke, cepetlah yang punya anak umur 7 sampai 12
tahun, jangan tidak disekolahke, bener idak Wakyeng?
Hadam 1: Betul ! ini kito sekedar ngingetke pada
rakyat negeri ini.
Beberapa contoh dialog yang telah disampaikan oleh tokoh
Hadam 1 dan Hadam 2 terdapat pesan moral atau pesan pendidikan yang mengangkat
atau mendorong dengan memberikan motifasi agar mengindahkan pendidikan dan
memberikan harapan kepada generasi penerus karena pendidikan yang baik adalah
jaminan masa depan bangsa dan negara.
PENUTUP
Teater Dul muluk mempunyai aspek-aspek daya tarik yang melebihi dari
teater mula seperti yang sudah disajikan dalam bentuk panggung, cerita
divisualisasikan secara verbal dalam bentuk penokohan, adegan, musik, kostum,
sehingga masyarakat menjadi sangat tertarik. Dimana teater daerah Dul muluk palembang merupakan cerminan kehidupan masyarakat
palembang yang dapat menjadi panutan dan pembelajaran bagi generasi penerus
pada masyarakat palembang sendiri, jika dilihat dari sisi pendidikannya pertunjukan
teater Dul muluk banyak mengandung
nilai-nilai moral yang baik terhadap pengembangan karakter bangsa untuk lebih
baik. dengan melestarikan dan mempertahankan kesenian tradisi teater rakyat Dul muluk sebenarnya telah menjalankan
tujuan pendidikan nasional sepenuhnya. Sedangkan kondisi pendidikan yang terjadi
saat ini cendrung sentalistik dan birokratik memfokuskan pada pendidikan
formal, sedangkan untuk mencapai tujuan dari pendidikan nasional tidak cukup
melalui instansi pendidikan formal saja tetapi juga melibatkan kehidupan sosial
sekitar.
Pertunjukan
Dul muluk yang telah menjadi populer
di kalangan masyarakat itu menjadi
media yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan atau misi-misi yang diharapkan
oleh pendidik dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk itu perlunya
perhatian dan pelestarian terhadap kesenian tradisi teater daerah Dul muluk lebih lanjut, sehingga salah
satu media pembelajaran karakter bangsa akan tercapai.
KEPUSTAKAAN
Depdiknas. 2003. UU Pendidikan Nasional. Jakarta. Depdiknas.
Dhony, Nugroho Notosutanto
Arhon. 2014.
Tesis “bentuk dan struktur
pertunjukan teater dulmuluk dalam lakon zainal abidinsyah di palembang”.
Surakarta: ISI Surakarta.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama ( Apresiasi, Ekspresi, dan
Pengkajian ). Yogyakarta: P T Buku Seru.
Harymawan,Rma. 1986. Dramaturgi. Bandung: PT
Rosdakarya.
Saleh,
Abdullah dan Dalyono. R. 1996. Kesenian
Tradisional Palembang Teater Dulmuluk.
Palembang: Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadia Palembang.
Supriyadi. 2013. Teori
dan Apresiasi Drama/Teater. Palembang:
Maheda Utama jaya.
Tilaar, H.A.R. 1992. Manajemen Pendidikan
Nasional kajian pendidikan masa depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pratiwi, Yni & Siswiyanti,
Farida. 2014. Teori Drama dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[1]Tembang
Kisoh adalah
pantun yang dinyanyikan pada awal pergelaran Dulmuluk diadakan (Udin,
Wawancara: 01 Maret 2014 dalam Dhony, 2014: 35.).
[2] Jubung adalah bagian belakang pentas, ruang
tempat berhias yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu bagi para pemain
(Dalyono dan Saleh, dalam dalam Dhony,
2014: 36.).
[3] Bermas adalah salam pembuka dan penutup dalam
pementasan Teater Dulmuluk (Dalyono dan saleh, dalam Dhony, 2014: 37.).
Langganan:
Komentar (Atom)





